(Jangan) Takut Gagal

Besok adalah hari yang menentukan bagi sebagian orang di penjuru Indonesia: mereka akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Ujian ini bagi sebagian besar orang adalah momok, penentuan lulus atau tidak, pembayaran kontan dari perjuangan selama kurang lebih 3 tahun bersekolah.

Sejujurnya, ketika UN dulu, saya tidak begitu khawatir. Saya cukup yakin kala itu bahwa saya bisa lulus, tinggal masalah seberapa baik hasilnya. Kala itu, saya percaya bahwa selama bersekolah, alhamdulillah, saya sudah mencoba mendengarkan pelajaran di sekolah dan mengikuti pelajaran tambahan di bimbingan belajar.

Meski sedemikiannya saya percaya diri dalam usaha saya, ujung-ujungnya, saya tetap merasa harus berdoa kepada Tuhan.

Tuhan, saya sudah mengusahakan yang saya bisa lakukan. Saya ingin membuat orang tua saya bangga. Semoga Engkau melancarkanku, menerangkan pikiranku dalam mengerjakan ujian yang akan kuhadapi ini.

Oh, tentu saja. Karena sesungguhnya, hanya Dia-lah yang memberikan ujian pada kita, tapi Dia pula yang memberikan kemudahan pada kita.

Beberapa tahun berselang, saya dihadapi dengan ujian yang lebih besar. Lulus kuliah membuat saya lebih terpajan pada dunia luar yang ternyata berisi banyak orang yang jauh lebih luar biasa daripada saya. Semakin saya belajar, semakin saya merasa bahwa saya tidak tahu apa-apa. Saya baru menguasai A, orang-orang di luar sana sudah bisa B, C, D, bahkan hingga Z. Saya dihadapkan dengan orang-orang pada level usia yang sama, tetapi dengan prestasi yang bisa jauh berbeda.

Saya punya banyak mimpi, banyak keinginan. Namun, semua itu selalu dibarengi pertanyaan yang sama, “Bisakah saya mencapainya?” Pertanyaan tersebutlah yang membuat saya khawatir — takut gagal.

Jangka waktu yang dihadapi pun menjadi berbeda. Dulu, sekolah 3 tahun menentukan hasil UN saya, kemudian menentukan tempat kuliah saya, dan akhirnya menentukan kelulusan saya. Sekarang, apa yang saya kerjakan — atau tidak kerjakan, mungkin baru dapat dilihat dampaknya dalam belasan bahkan puluhan tahun kemudian. Maka, rasa khawatirnya pun makin menjadi-jadi.

Beberapa orang mengatakan,

Jangan bermimpi tinggi-tinggi, karena kalau jatuh akan lebih sakit.

Menghadapi ini, saya jadi teringat oleh apa yang dikatakan Mario Teguh bahwa gagal atau berhasil itu nanti, maka mengapa harus mimpinya dihentikan sekarang? Perkataan beliau membuat saya termenung sejenak.

Saya kemudian tersadar untuk kesekian kali bahwa tugas manusia itu adalah berikhtiar dan berdoa untuk mencapai mimpi-mimpinya. Bermimpilah yang tinggi dan jalani saja yang harus dijalani, nikmati susah-senangnya. Tuhan yang kelak akan menentukan hasilnya. Tuhan yang tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Dia pula yang tahu apakah kita sudah pantas mendapatkan yang kita impikan melalui apa yang kita usahakan. Boleh jadi, Tuhan malah menggantinya dengan yang jauh lebih baik.

Jadi, tulisan ini saya maksudkan sebagai pengingat kepada diri saya sendiri dan Anda yang ingin mengambil pelajaran dari sini untuk jadi pribadi yang lebih rajin, yang mau menjalani tantangan hidup dengan lebih gagah. Doa saya, semoga Tuhan senantiasa menuntun kita untuk menjalani jalan kebaikan yang kelak berakibat baik bagi kita dan orang-orang di sekitar kita. Semoga Tuhan memampukan kita dan meringankan hati dan pikiran kita dari beban kekhawatiran yang selama ini menghantui.

Aamiin.